GADIS MERAH DAN POHON YANG BERBUAH APA SAJA


Oleh: Citra Sasmita

Aku tidak pernah menyangka akan diasingkan dari tanah tempat kelahiranku menuju sebuah kota kecil di dataran Gargalota dengan menumpang kapal barang yang selain mengangkut cokelat dan biji-biji beraroma menyengat juga ada sekelompok budak-budak berkulit hitam yang nanti akan diturunkan di Grenlischerter yang berjarak 10 hari dari pelabuhan. Aku sendiri akan turun di semenanjung Gargalota yang berjarak 7 hari, kemudian melanjutkan perjalanan melewati gurun Kilosa hingga akhirnya sampai dikota itu.

Sesungguhnya ini bukan keinginanku untuk pergi ke tempat antah berantah yang bahkan dari cerita-cerita para pelaut kota tersebut menyimpan lebih dari seribu cerita kengerian. Pernah dikisahkan seorang pelaut terdampar di Gargalota. Ketika itu hari masih terang dan tidak ada yang bisa diandalkannya untuk navigasi kecuali insting dan arah hembusan angin. Kemudian sangat berbahaya baginya jika bepergian di darat pada malam hari, kita tidak akan bisa mengira akan ada binatang buas atau suku kanibal yang mengincar para pendatang yang tanpa sengaja memasuki wilayah mereka.

Tentu dengan tidak berbekal apapun pelaut itu menyusuri rawa-rawa dan sebuah sabana sepanjang rasa putus asanya. Kelaparan dan kehausan ia hendak mengakhiri hidupnya. Bahkan jalan kembali pun ia tidak mampu mengingatnya. Dalam sabana yang luas tersebut ia menggali tanah dengan pisau belatinya, setidaknya pelaut itu ingin mayatnya ada dalam lubang yang cukup dalam, jauh dari jangkauan burung hering dan binatang pemakan bangkai lainnya. Namun belum lama ia menggali, semburat air muncrat ke atas tanah. Ternyata Tuhan masih berbaik hati, begitu pikirnya. Tanpa menunggu apapun sang pelaut meraup segenap air dalam kolam yang dibuatnya, seolah itu merupakan harta satu-satunya saat ini. Kemudian ia minum dan mandi sepuasnya.

Keajaiban lain terjadi, sebuah pohon tiba-tiba tumbuh di atas kolam itu, dengan sulur-sulur akar kemudian batang dan ranting pohon yang tumbuh begitu cepat menyusul dedaunannya. Si pelaut berharap pohon itu akan berbuah apel, atau buah anggur–makanan mewah yang selalu ia lihat dimakan oleh para tuan tanah. Dan segera saja pohon itu berbuah sesuai dengan keinginannya. Namun dari bawah pohon, si pelaut hanya bisa menggapai-gapaikan tangannya tak sanggup untuk memetik satupun dari buah-buahan itu, tubuhnya tak lagi mampu memanjat bahkan hanya untuk sekedar berdiri, beban diatas tubuhnya terlampau berat. Mata air yang ia gali tampak memerah, sulur-sulur akar tetap tumbuh masuk ke kedalaman tanah. Pohon ajaib yang bisa berbuah apapun itu tumbuh di atas tubuh si pelaut.

***

Perjalanan dengan menggunakan kapal layar bukanlah hal yang mudah bisa kulalui. Beberapa hari ini cuaca sangat buruk, burung-burung camar yang terbang melawan arah angin, bagi kapten kapal merupakan hal yang paling mengkhawatirkan. Aku cukup yakin, berbekal pengalamannya hidup di lautan, pertanda alam seperti ini bukanlah hal baru baginya. Namun ada raut kecemasan dalam wajahnya yang kasar. Raut kecemasan ini seperti membaca sesuatu yang lain dari biasanya. Apakah akan ada badai yang lebih besar dari yang biasa dia hadapi? Ataukah, bermil-mil didepan sana akan ada monster laut yang mampu meremukkan seluruh badan kapal seperti yang diceritakan awak-awak kapal ketika mabuk di kedai untuk menakut-nakuti para pelacur yang pada menit selanjutnya akan mereka lumat dan nikmati dengan beringas.

Saat ini dalam sudut yang di luar perhatian para awak kapal, aku menyembunyikan rasa mual karena mabuk laut. Dalam kapal ini tidak ada yang namanya kenyamanan. Sebelum naik ke kapal laki-laki di atas dek itu selalu meludah kearahku, ada yang menutup hidung mereka seolah aku adalah bangkai yang membusuk. Sesungguhnya hal itu pula yang menjadi alasan aku diusir dari desa kelahiranku. Warga desa selalu menganggapku anak terkutuk. Konon ketika aku dilahirkan, tidak ada yang membantu persalinan ibuku. Ketika itu seluruh penduduk melakukan pemujaan terhadap sebuah pohon semak yang mereka anggap sangat suci dan mampu melindungi penduduk dari segala bencana. Pohon semak yang tingginya tidak lebih dari dua kaki yang selalu mereka sirami dengan susu, padahal mereka sendiri tidak pernah meminum itu seumur hidup. Bagi mereka susu hanya untuk roh suci yang selalu melindungi desa. Konon pohon itu mampu mendatangkan badai jika ada kapal dengan bendera perompak ingin berlabuh disana atau membelokkan tanah longsor yang hampir mengubur desa.

Saat itu usia kandungan ibu masih sangat muda, tidak ada yang menyangka aku akan lahir lebih awal. Ada yang bilang, belum berselang beberapa saat aku keluar dari rahim ibu, aku menghisap seluruh darah ibuku hingga kulitku sama merahnya dengan darah itu. Tidak ada yang berhasil menghilangkan warna merah dan bau darah dalam tubuhku. Hingga aku tumbuh besar, aku telah menjadi teror dalam desa itu. Mereka pikir aku akan menghisap darah mereka, padahal kecerobohan yang pernah kulakukan hanyalah diam-diam meminum susu dari kerbau-kerbau penduduk desa.

Ketakutan penduduk desa semakin menjadi ketika dari puting-puting kerbau mereka tidak bisa mengeluarkan susu setetespun, hanya cairan merah segar yang mengalir tanpa henti. Karena putus asa, mereka menyirami pohon semak suci dengan darah kerbau seraya berdoa untuk menyingkirkanku. Tidak satupun yang dapat mereka lakukan selain berdoa. Tidak beberapa lama kemudian pohon itu menjadi merah, sama merahnya dengan darah dan dedaunan dalam pohon itu pun gugur menyisakan rantingnya kemudian mengering. Sejak saat itu, penduduk desa makin tidak berani mendekatiku. Bagi mereka, apapun yang kusentuh akan berubah menjadi merah. Maka dari itu, ketika kapal yang mengangkut para budak menuju Grenlischerter berlabuh para penduduk menyambut dengan gembira seolah kedatangan mereka menjadi satu-satunya harapan untuk mengenyahkanku. Para penduduk memberikan mereka daging kerbau yang telah diasap, air segar beserta kentang, apapun yang bisa mereka berikan dengan cuma-cuma. Sebagai timbal baliknya para penduduk mendesak sang kapten untuk membuangku di Gargalota, sebuah pulau yang sama terkutuknya dengan keberadaanku.

Bersembunyi dalam gudang kapal, aku menahan sebisa mungkin rasa lapar. Berhari-hari aku tidak memakan apapun dan dengan terpaksa aku makan makanan sisa awak kapal, berupa bubur kentang dingin yang sedikit berjamur—rasa dan tampilannya tidak berbeda dengan muntahan para pemabuk di kapal ini. Biji-bijian dan buah kering dalam kotak kayu hanya menimbulkan rasa perih dan menyengat bahkan hanya dengan mencium aromanya saja.

Para budak berkulit hitam yang dikurung didasar kapal ternyata kondisinya tidak lebih baik. Dari celah kayu diam-diam aku mengintip, dan yang kutemukan jauh lebih mengerikan daripada ketakutan penduduk desa ketika melihat sosokku. Mereka harus bertahan melawan rasa dingin karena air yang menggenangi dasar kapal. Tangan dan kaki mereka terikat rantai yang terhubung dari satu budak ke budak lainnya. Di dekat tangga, dua orang awak kapal memerintah mereka sesuka hati, meludah dan memukuli budak-budak itu jika ada yang tidak patuh.

Budak-budak berkulit gelap itu berasal dari orang-orang suku Avon. Orang-orang Avon selalu bersembunyi ketika daerah mereka didatangi orang asing dan seharusnya keberadaan mereka tidak mudah dilacak karena kehidupan mereka yang selalu berpindah-pindah hingga ke bagian hutan yang paling dalam. Disamping itu orang-orang Avon memiliki kemampuan kamuflase yang mampu mengecoh harimau lapar sekalipun. Setelah melakukan berbulan-bulan ekspedisi, kapten dan para awak kapal berhasil menculik sekitar dua belas orang yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak. Rupanya kapten kapal ini cukup cerdik, dengan membakar bunga opium kering itu sudah cukup membuat orang-orang Avon lemas dan tidak sadarkan diri dalam persembunyiannya.

Dengar-dengar para tuan tanah dan borjuis di Grenlischerter telah memasang harga yang mahal untuk budak-budak itu. Kemampuan mereka meramu biji-bijian menjadi balsam, bumbu dan obat-obatan yang didapat dari ekspedisi ke pulau-pulau tropis sangat bisa diandalkan.

Seorang perempuan Avon telah menjadi bulan-bulanan awak kapal yang mabuk. Sementara yang lainnya tetap dipukuli ketika ingin melawan. Dalam ketidakberdayaan mereka hanya bisa memalingkan pandangan, tidak ingin melihat nasib buruk yang menimpa seorang kawannya.  Meski berkulit gelap, tubuh perempuan Avon sesungguhnya lebih ranum dibandingkan pelacur-pelacur berkulit putih yang tampak mengendur. Barangkali karena begitu lama melaut, rasa lapar mereka sudah tidak tertahankan dan perempuan Avon tersebut telah menjadi santapan mereka malam ini.

***

Pertanda yang menjadi kekhawatiran kapten kapal rupanya telah menunggu tidak jauh didepan sana. Laut masih tenang, dan kapalpun melaju dengan kecepatan angin yang teratur, namun ada kabut tebal yang menyambut dengan begitu cepat dan mengurung kapal ini dalam udara dingin yang tidak tertahankan. Seketika kapal ini seolah memasuki lautan orang-orang mati. Angin dingin yang berhembus lebih terdengar seperti teriakan menyayat yang berasal dari hantu-hantu dasar laut. Kapal tetap melaju tanpa arah dalam kabut, semua awak kapal tampak panik. Sesungguhnya tidak ada hal apapun yang terjadi kecuali suhu dingin yang membuat mereka berhalusinasi. Mereka mulai kehilangan kesadaran. Kapten kapal tampak mengamuk di atas dek sambil mengacung-ngacungkan pedangnya, mengutuk dan menyerang orang Avon yang lolos dari kurungan. Ia mencincang-cincang semua orang Avon itu yang jumlahnya belasan. Bukan, bukan belasan, namun puluhan. Jumlah orang-orang Avon makin bertambah seiring tebalnya kabut dan tidak terkendali. Akupun tidak mempercayai penglihatanku. Bagaimana bisa jumlah mereka bertambah banyak dengan seketika?

Aku berlari menuju dasar kapal tempat mereka dikurung, dan orang-orang Avon masih berada dalam kurungannya. Dua awak kapal tampak membujur kaku, ada yang mencekik mereka dengan sekuat tenaga. Bersama si perempuan Avon yang selamat, kami membebaskan sisa tawanan dan melarikan diri.

Ketika sampai diatas dek, segalanya sudah tampak tenang. Kabut perlahan menghilang dan kembali mengembalikan penglihatanku. Namun apa yang kulihat seperti mengingatkanku akan sesuatu. Kini dihadapanku tumbuh beberapa pohon besar, seolah tumbuh dengan begitu ajaibnya. Orang-orang Avon telah lebih dulu berlarian dan memanjat pohon-pohon itu. Mereka memakan apapun yang bisa ditemukannya dibalik dedaunan pohon itu. Akupun  ikut menghambur, berharap akan menemukan sesuatu untuk menghilangkan rasa laparku. Tapi, belum jauh aku memanjat, aku merasa telah menginjak sesuatu yang dingin dan licin. Menghadapi rasa penasaranku, kulihat mayat kapten dan para awak kapal dililit akar pohon yang menghisap darah dan organ-organ tubuh mereka. Mungkinkah aku telah sampai di Gargalota?

Maret, 2016, dimuat di BaliPost Minggu

Notes of “Under The Skin” Exhibition (by Citra Sasmita)


Malam ia sudah merancang
tidak kembali mengulang mimpi
pada stang bau seledri
kabur membawa tubuh
di atas sepeda
bagai sekeranjang bayam dan kapri
habis kecantikannya terbeli bintang pagi
Tapi, ia mendengar bisik tetangga
dan percaya. Perempuan bisa jadi bapak anak-anaknya
tidaklah jamak setiap menyalakan api
mengandalkan korek dari saku laki-laki
I quote two verses of Iman Budhi Santosa’s poem entitled “The Greengrocer Widow from Imogiri-Yogya” as a fi rst step to walk to Yogyakarta city. The issues of cultural identity, myth, the context of space and time, and the dynamics of community culture became the hypothesis that I obtained from the poem, as well as bridging the work process during the residency period within three months in Redbase. Contrary to my previous work
processes which based on understanding the situation and conditions of Balinese women in the context of their patriarchal and sexuality cultures. This poem brings my body to a more complex issue, not just about the body of Bali, the body of Java, but the human body itself. When I arrived at Yogya, I was slowly harassed by questions and guidance that took me to various place and meetings with a stranger who soon become a friend. So the process of my work not limited to how to get the idea and then poured it into the medium of art only. But my body also helped to record the spirituality and cultural experiences that exist in Yogya. Especially how the The Greengrocer Widow from Imogiri-Yogya’ brought me to explore intense traditional markets, including some visits to several destinations like the south coast, Kotagede and the tomb of Imogiri king.
Traditional markets became the most liquid and open space for me to observe, as a social contest space, the market brought people from different backgrounds and different destinations in the same room. As a visual language, my observations focus on women’s position and relationships in traditional markets as a reflection of their wider social and cultural reality. In traditional markets, women are not only instrumental in determining the value and economic aspects of the various commodity goods traded, but also forging their negotiation space hierarchically. How the market become a public space is identifi ed with women to fulfi ll family needs. In addition, the traditional market also provides a very rich visual diction. I took a lot of things that are commonly found in the market as an idiom that represents my idea in the work. Pieces of meat, cloth napkins,
bamboo strain, leather and natural fi ber became the element that present in this exhibition. In addition to found object in the market, these items at once become a symbol for the identity of the woman herself. The braided natural fi ber strunged together like a long hair hanging. The idiom of long hanging hair, in addition is
become a symbol of women’s identity, also represents their relationship with fellow women, with other human beings, including the context of space and time
This hair idiom also evolved through the shadow-puppet narrative, an element of tradition that links the historical narratives of Javanese and Balinese humans, especially regarding the fi gure of Drupadi. In her story, Drupadi was stripped naked and humiliated by Kurawa because of Pandawa’s defeat in a gambling game.
Her revenge on Kurawa made her swear to untie her hair until she could bathe in Kurawa’s blood. Drupadi ‘s hair that I show is a representation of the form of women’s movement that should be able to fi ght for their rights in the middle of social contest space. This idea became the antithesis of the general view of the fi gure of Javanese women who are usually forcing them to surrender and accept various pressures, as reflected in the philosophy of “nrimo ing pandum” or “mikul dhuwur mendhem jero”.
In this space and time in Yogya, I tried to record these experiences through my Balinese body. Although this cultural identity gives a contrasting color, there is a certain interconnected memory between language, poetry, and philosophy that adds into my visual wealth. The representation of the body that I often present is innocent and with pale white colors on my previous works, and now clothed with a more down to earth experience, with a more earthy body color as well.

Catatan pengantar pameran “Pengilon” Bentara Budaya Yogyakarta


Setelah bumbon, babon, kemudian pengilon. Begitulah kehidupan perempuan Jawa kerap lekat kaitannya dengan ranah domestik seputar masak, manak, lalu macak. Dalam konteks kehidupan masyarakat Jawa, hal tersebut telah menjadi bagian dari tradisi yang diwariskan turun temurun. Pembagian ranah kerja domestik bagi kaum perempuan, tidak dapat dipahami sepenuhnya sebagai bentuk pengekangan terhadap diri, tubuh, dan ekspresi seorang perempuan. Begitupula dengan para seniman perempuan pada pameran ini dalam mengidentifikasi diri mereka, meskipun telah memiliki kebebasan untuk berkarya dan memilih karir sebagai seniman, mereka tetap melekatkan kehidupan personalnya pada ranah domestik melalui perannya sebagai perempuan, istri dan ibu.

Berada di ruang domestik tidak berarti tubuh dan jiwanya terpenjara, mereka meyakini bahwa melalui ruang itulah eksistensinya dapat dibangun secara esensial dan hakiki. Melalui hal-hal yang menjadi keseharian, mereka memperoleh pengalaman empirik pada tubuh dan batinnya, sehingga meningkatkan kepekaan seluruh aspek inderawinya. Di dalam ruang tersebut, mereka tetap dapat mengamati realitas sosial yang berlangsung di luar sana, sekaligus merenungkannya secara kontemplatif serta menimbang dampaknya terhadap diri mereka.

Dari hal-hal yang bersifat keseharian itulah, mereka justru menemukan metafora yang lugas untuk memvisualkan bagaimana realitas sosial itu memberi dampak pada kehidupan. Pengalaman semacam itu selalu mereka tampilkan pada setiap tema pameran yang mereka inisiasi, mulai dari bumbon, babon, dan kini pengilon (termasuk menggunakan kata bumbon sebagai nama kelompok mereka). Berangkat dari hal yang sangat personal dan domestik itulah, mereka justru mampu merefleksikan bagaimana kebudayaan berjalan dari ruang yang paling sederhana.

Pengilon yang dalam bahasa Jawa berarti cermin, memiliki sifat material untuk memantulkan bayangan dan menghadirkan ulang citra diri seseorang. Melalui fungsi inilah, perempuan dapat lebih mengenali dirinya, melihat segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya. Di hadapan cermin, seseorang tidak hanya berhadapan dengan bayangannya saja, tetapi juga ingatan tentang segala tindakan dan pengalaman yang membentuk dirinya. Refleksi tidak hanya berarti pantulan, tetapi juga renungan..

Secara tematik, pengilon dipilih sebagai tema pameran kelompok Bumbon tahun ini karena menjadi benda yang sangat identik dengan keseharian perempuan secara umum untuk macak atau mematut diri. Secara naluriah setiap manusia menyukai keindahan, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya, tanpa terkecuali kaum perempuan. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan upaya-upaya untuk menarik perhatian dari lawan jenisnya, melainkan sebagai upaya untuk membangun citra diri yang ideal menurut mereka.

Ketika berada di ruang domestik maupun publik, perempuanpun tidak hanya berurusan dengan tubuhnya secara harfiah, tetapi di saat yang bersamaan mereka juga harus berhadapan dengan norma-norma yang mengikat. Di ruang domestik, mereka harus bisa menyikapi norma dalam lingkup keluarga, sementara itu di ruang yang lebih luas mereka harus berhadapan dengan norma dan konstruksi sosial yang berlaku di lingkungan masyarakat. Karena itulah, seorang perempuan musti pandai membentuk image dirinya yang sesuai dengan norma sosial yang berlaku.

Selain itu, tema pengilon juga dipilih sebagai metafora yang dapat menganalogikan bahwa diri para seniman perempuan dan karya-karyanya ini adalah cermin yang memantulkan realitas sosial yang berlangsung di sekitar mereka. Realitas itu, mungkin mereka alami secara langsung atau berdasarkan pada pengamatan yang mereka lakukan secara cermat. Melalui kepekaan yang mereka miliki, segala bentuk realitas tersebut dapat diolah dan dihadirkan kembali ke hadapan publik. Tentu saja, dengan perspektif dan refleksi yang beragam.

Anggapan bahwa kehidupan perempuan hanya berkutat di ruang domestik tanpa mengenal dunia di luar mereka tentu akan terbantahkan ketika melihat karya-karya yang dihadirkan dalam pameran ini. Bahwasanya para seniman perempuan ini, meski bergulat dengan hal-hal keseharian, justru mampu merefleksikan realitas sosial secara luas. Sebagaimana seniman pada umumnya, mereka memiliki daya ekspresi dan imajinasi yang tidak terbatas, sekalipun banyak anggapan bahwa tubuh perempuan mereka terus menerus dibatasi.

 

Citra Sasmita, perupa

Under The Skin, Citra Sasmita’s Solo Exhibition


WhatsApp Image 2018-03-26 at 18.45.07 (1)UNDER THE SKIN
artist in residence exhibition #9 by Citra Sasmita (INA)

Pembukaan: Sabtu, 31 Maret 2018, 4 pm
Tempat: REDBASE Yogyakarta
Ds. Jurug RT 02, No. 72 Bangunharjo, Sewon, Bantul
Yogyakarta 55187 INDONESIA

Performance:
Ayu Permata Sari

Periode pameran:
31 Maret – 28 April 2018

Mengakhiri masa residensinya di Redbase Foundation Yogyakarta, Citra Sasmita akan menggelar pameran tunggalnya dengan mengusung tajuk Under The Skin. Pameran ini merupakan presentasi akhir dari program residensi yang diselenggarakan oleh Redbase Foundation Yogyakarta selama kurang lebih tiga bulan. Redbase foundation yogyakarta secara intensif membuka kesempatan bagi seniman-seniman muda yang berasal dari luar kota yogyakarta untuk merasakan pengalaman tinggal dan berkarya di kota ini. Setiap kota tentu menawarkan suasana dan impresi berbeda yang akan berpengaruh terhadap proses maupun karakteristik seniman dalam berkarya.

Citra Sasmita merupakan seniman muda kelahiran Tabanan, Bali 30 Maret 1990. Menempuh pendidikan formalnya pada jurusan sastra inggris universitas udayana dan jurusan fisika di universitas pendidikan ganesha. Meskipun tidak pernah mengambil pendidikan formal di bidang seni, Ia mengawali karir keseniannya saat menjadi ilustrator cerita pendek di Bali Post sejak tahun 2012. Karya-karyanya banyak mengangkat tema seputar dunia perempuan, terutama dalam konteks budaya bali yang begitu kental dengan nuansa patriarkis dan seksualitas.

Dalam aspek historis, Bali dan Jawa memiliki akar sejarah dan kultural yang hampir serupa, hal itu tercermin dalam naskah-naskah pewayangan yang hingga kini masih menjadi narasi yang berkembang di kehidupan masyarakat sehari-hari. Meski memiliki akar sejarah yang hampir serupa, namun pada praktiknya, masyarakat di kedua pulau itu telah berkembang menjadi dua kultur yang berbeda.

Pada masa residensinya yang intens selama tiga bulan di Redbase Foundation Yogyakarta ini, Citra melakukan eksplorasi terhadap tema perempuan dalam konteks budaya jawa, yang terefleksi melalui hubungan sosial antara tubuh perempuan dengan ruang dan waktu.Citra melihat pasar tradisional sebagai ruang kontestasi sosial bagi perempuan yang bersifat cair sekaligus egaliter. Baginya, pasar tradisional juga menjadi ruang yang terbuka untuk mempertemukan orang-orang dengan berbagai latar belakang.

Meski melakukan eksplorasi yang mendalam terhadap perempuan dalam konteks budaya Jawa, pada sejumlah karyanya, Citra juga masih menggunakan idiom-idiom visualnya terdahulu. Baginya, ini merupakan pengalaman tubuhnya dalam menyerap dua budaya yang berbeda. Pada sejumlah karyanya, Citra menghadirkan figur-figur perempuan dengan benda-benda komoditas yang lazim kita jumpai di pasar seperti daging, serbet, juga keranjang. Meski demikian, gambaran yang muncul bukanlah lukisan realistik yang menggambarkan perempuan dalam ruang pasar tradisional secara nyata. Citra mengolah pengalaman dan hasil observasinya tersebut secara simbolik, sehingga pemaknaan terhadap karyanya menjadi lebih luas dan tidak terbatas. Sebagaimana tercermin dari judul pamerannya ini, Under The Skin (di balik permukaan kulit) yang berarti mengajak kita untuk menyelami perempuan pada tataran yang lebih dalam seperti psikologi, budaya, dan spiritualitasnya.

Pameran ini dibuka pada 31 Maret dan berlangsung hingga 28 April 2018 mendatang di ruang Redbase Foundation Yogyakarta.

Ending her residency at Redbase Foundation Yogyakarta, Citra Sasmita will hold her solo exhibition entitled Under The Skin. This exhibition is the final presentation of Citra’s residency in Redbase Foundation Yogyakarta for approximately three months. Redbase Foundation Yogyakarta intensively opens opportunities for young artists who come from outside of the city to feel the experience of living and working in Yogyakarta. Each city certainly offers a different atmosphere and impression that will affect the process and characteristics of the artists’s works.

Citra Sasmita is a young artist born in Tabanan, Bali March 30, 1990. She took her formal education at Udayana University of English Literature Department and Department of Physics at Ganesha University of Education. Although she hasn’t took a formal education in art, she began her artistic career as a short story illustrator for Bali Post since 2012. Her works mostly show women’s world theme, especially in the context of Balinese culture that is strongly dominated by patriarchal nuances and sexuality.
In the historical aspect, Bali and Java have almost similar historical and cultural roots, it is reflected in the puppet texts that still becomes a narration and developed in daily life of the society. Despite that, they have almost similar historical roots, but in practice, communities on both islands have evolved into two different cultures.

During her three month residency at the Redbase Foundation Yogyakarta, Citra has explored the theme of women in the context of Javanese culture, which is reflected through the social relationship between the female body with space and time. Citra perceives traditional market as a social contestation space for women who are soft but egalitarian as well. For her, the traditional market is an open space to bring people together from diverse backgrounds.

Despite her deep exploration of women in the context of Javanese culture, in some of her works, Citra still uses her previous visual idioms. For her, this is her body’s experience in absorbing two different cultures. In a number of her works, Citra presents female figures with commodity objects that are commonly encountered in markets such as meat, napkins, and baskets. Nevertheless, the picture that emerges is not a realistic painting depicting women in traditional market space in real terms. Citra processed experience and the results of her observations symbolically, so that the meaning of her work becomes wider and unlimited. As reflected in the title of this exhibition, Under The Skin (behind the surface of the skin) which means invites us to explore women on a deeper level such as psychology, culture, and spirituality.

The exhibition opened on March 31 and will last until 28 April 2018 Redbase Foundation’s space.

MANTRA PENAKLUK


Ini merupakan kabar gembira bagi Irus yang telah dibuat demam dan menggigil dalam tidur-tidur malamnya. Sebab seorang gadis yang telah mengacaukan akal sehatnya telah menolak pinangan Den Mas Sarwo, seorang tuan tanah kaya yang hartanya tidak akan habis sampai tujuh turunan. Pertama kali Irus melihat gadis itu dalam sebuah pidato dari seorang pemimpin organisasi petani di kampungnya. Irus melihatnya datang bersama sekelompok gadis yang sepertinya bukan berniat mendengar dan mengikuti ceramah marxis pada hari itu, namun mereka lebih tertarik untuk memperhatikan ketua organisasi yang terkenal tampan dan kharismatik. Diatas mimbar ia memang tampak memesona dengan ikat kepala di dahinya, seolah itu telah cukup menyatakan keberpihakannya terhadap kaum buruh dan petani.

Tapi, terhadap Kang Darta– begitu ketua organisasi itu akrab disapa, Irus sedikit sinis. Mungkin sebagai anak seorang dukun ia kalah tenar. Meski banyak jimat pengasih dan cincin batu yang konon bisa memberikannya daya tarik dan kewibawaan selalu ia pakai, namun tidak sekalipun ia berani meniduri gadis yang telah terpikat peletnya. Suatu ketika Irus diminta ayahnya mencari bahan sesaji untuk ritual penolak bala. Namun ditengah jalan, Irus berpapasan dengan Nyai Nimah, salah satu gundik Kyai Jafron. Ketika mata mereka saling beradu, saat itulah pelet Irus mulai bekerja. Wajah Nyai Nimah seketika memerah seperti tengah menahan gemuruh ditubuhnya. Serta oleh sihir yang begitu ajaib wanita itu tidak bisa membendung niatnya–berbagai pikiran erotis melintas di kepalanya tanpa ia kehendaki. Kemudian tanpa pikir panjang Nyai Nimah menarik Irus menuju semak-semak. Wanita itu merogoh kaos dan celana Irus dengan begitu beringas seraya membuka kerudung, kebaya dan kain lilit yang membungkus pinggangnya. Itulah kali pertama Irus melihat tubuh polos seorang perempuan. Jakunnya naik turun. Pemuda itu berusaha menelan ludah meski begitu susahnya. Ketika Nyai Nimah hendak menyerangnya lagi, Irus menutupi kemaluannya yang sulit tegak kemudian mendorong wanita itu dan melarikan diri. Setelah itu ia menjadi sadar betul khasiat jimat yang diwariskan oleh ayahnya dan memutuskan untuk tidak sembarangan lagi  memakainya. Sebab Irus telah bersumpah untuk memberikan keperjakaannya hanya kepada perempuan yang ia cintai dan yang akan menjadi istrinya kelak.

Kemudian mengenai sosok Kang Darta, ia merupakan pemuda yang reaksioner. Sifat itu ia dapatkan setelah selesai menempuh pendidikan di kota. Ketika Kang Darta kembali ke kampung, ia diserang rasa kelangenan karena harus kembali menjalani kehidupan desa yang mandeg. Maka ia mengumpulkan para pemuda desa untuk membentuk sebuah organisasi petani di sana. Ia ingin melakukan perubahan untuk desanya. Kemudian mengenai kehidupan cinta, Kang Darta ternyata tidak seambisius niatnya untuk membangun desa. Tidak ada seorang gadispun yang menarik minatnya melebihi buku-buku kiri koleksinya. Tapi dengar-dengar, karena ketampanan dan roman wajahnya yang arkaik banyak gadis yang rela tidur dengan Kang Darta.

Dan Anisa, ia adalah gadis yang telah mengganggu pikiran Irus. Ia merupakan anak seorang janda di kampung itu dan hanya tinggal bersama ibunya. Namun, penyelidikannya terhadap Anisa tidak berakhir sampai di titik itu. Malam penuh kegelisahan yang selalu Irus lewati beserta keringat dingin yang membasahi kasurnya membuatnya kecanduan untuk terus mengintip dan mengamati apa yang terjadi di rumah itu. Dalam sebuah kesempatan mereka berpapasan, jangankan bisa menatap matanya, untuk mengangkat kepalanya saja tidak mampu. Irus membuang banyak kesempatan untuk menggunakan peletnya terhadap Anisa. Lama-lama Irus semakin terobsesi dengan gadis itu. Sekali saja ia melewatkan kegiatan mengintip kekasih hatinya, Irus akan menjalani malam yang begitu panjang dengan 1001 mimpi setiap hari. Akhirnya pada suatu sore yang lengang, Irus nekad melompati pagar tanaman rumah Anisa dan mencuri celana dalamnya. Kini setidaknya ada aroma gadis itu yang menemani tidur malamnya.

***

Dalam usianya yang ranum Anisa telah menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat. Menguasai baca tulis setidaknya telah memberikan gadis itu keyakinan untuk tidak bekerja sebagai babu atau gundik-gundik tuan tanah sebagaimana nasib gadis seusianya. Ketika Anisa berusia 15 tahun, ayahnya mati ditembak musuh ketika perang gerilya. Mayat ayahnya tidak dikuburkan secara layak sebagaimana para tentara lain yang mati karena berperang. Konon karena sering mengerjai musuh dan telah mengebom gudang makanan mereka, jenderal musuh sangat dendam kepada sang gerilyawan. Maka ketika akhirnya ia berhasil dibunuh, mayatnya dimutilasi lalu menjadi makanan anjing-anjing hutan yang kelaparan. Hanya kepalanya saja yang tersisa dan dimanfaatkan oleh sang jenderal untuk menggertak kelompok gerilyawan. Kepala sang ayah dikirim ke markas para gerilyawan, melalui seorang kurir, dan itu cukup membunuh semangat mereka untuk melanjutkan perjuangan. Akhirnya mereka kembali menyamar sebagai pedagang dan penduduk pribumi untuk menghindari kejaran musuh.

Tangis ibunya pecah ketika kepala suaminya dibungkus ala kadarnya dengan bendera kebangsaan dan diantar sendiri oleh sang ketua gerilya dengan menggunakan sebuah nampan. Kemudian atas permintaan ibu Anisa sendiri, kepala suaminya tersebut dikuburkan dibelakang rumah mereka.

Namun teror tidak juga berakhir pada pemakaman itu, karena pada suatu malam yang paling angker kepala sang gerilyawan keluar dari kuburnya. Matanya berdarah dan menyala merah. Kemudian kepala itu terbang ke markas musuh dan menerobos masuk ke kandang anjing pelacak mereka. Lolongan anjing-anjing dalam kandang tersebut rupanya tidak dipahami sebagai pertanda oleh tentara-tentara musuh. Mereka tetap sibuk bermain kartu dan bercumbu dengan para pelacur. Potongan kepala itu kemudian merobek leher salah satu anjing hingga putus lalu ia menempatkan dirinya pada tubuh anjing tersebut. Ia kembali menjelma sosok gerilyawan, tapi kini bertubuh anjing. Malam itu menjadi hari pembalasan sang gerilyawan. Seluruh pasukan musuh telah ia lumpuhkan dalam semalam. Dendam yang ia bawa sampai ketanah telah membuat setiap pasukan yang melihat darah dan nyala merah di mata sang gerilyawan seketika membeku dan berubah menjadi batu.

***

Mulai merasakan kesulitan hidup tanpa sang ayah, Anisa mulai dijodohkan oleh ibunya dengan laki-laki pilihannya. Tentu yang diincar ibunya adalah Den Mas Sarwo, tuan tanah dengan jaminan harta dan warisan yang tidak akan habis hingga tujuh turunan. Meski laki-laki itu telah puluhan kali kawin karena menginginkan anak laki-laki sebagai penerus keluarganya. Tentu saja Anisa menolaknya. Sebab, dengan usaha yang cukup keras Anisa telah berhasil mendapatkan cinta Kang Darta.

Setelah Kang Darta berpidato mengenai perjuangan kaum buruh, Anisa menunggunya sampai keadaan di mimbar sunyi. Hanya Kang Darta dan Anisa yang mengintip dibelakang panggung. Kemudian dengan langkah ragu-ragu namun membawa gemuruh di dadanya, Anisa menghampiri Kang Darta.

“Bagaimana caranya perempuan ikut berperan dalam revolusi?” Anisa memecah kesunyian pada senja setelah Kang Darta membakar semangat kaum petani. Kang Darta seketika tersihir dengan sosok gadis itu, khususnya pada pertanyaan revolusionernya. Hal itu sama sekali belum pernah terpikirkan oleh pemuda itu dalam pidato-pidato yang ia susun. Anisa yang tampak kikuk semakin membuat Kang Darta membara.

“Mari saya tunjukkan.” Jawab Kang Darta singkat. Pemuda itu meraih tangan Anisa dan menuntunnya menuju belakang panggung. Dalam keheningan yang diupayakan, pemuda itu mulai menelusuri punggung tangan Anisa, lengan, hingga lehernya. Tidak beberapa lama kemudian suara desah dan lenguhan pecah di udara. Namun kelepak kalong-kalong yang seharian penuh bergelantungan di puncak pepohonan telah menyamarkannya.

***

Iringan pengantin mulai memenuhi rumah Anisa. Budak budak yang membawa sesembahan memenuhi seluruh jalan membawa nampan penuh dengan kain tenun, brokat, kotak emas dan makanan yang melimpah. Iringan kali ini terlihat sangat berbeda, sangat mewah dan berlebihan seolah Den Mas Sarwo yang sebelumnya murka dengan penolakan Anisa mengumumkan ke seuruh penduduk kampung bahwa gadis itu telah berhasil ia pikat dengan kekayaannya. Kali ini pun den Mas Sarwo datang sendiri ditandu oleh empat budaknya yang kurus karena kerja berat dan kasar di tanah perkebunannya. Untuk gundik-gundik sebelumnya, pantang bagi tuan tanah itu untuk mengotori kakinya dan datang ke rumah calon mempelai. Namun kali ini Den Mas Sarwo sungguh-sungguh berniat mengambil dan menaikkan derajat Anisa sah sebagai istri.

Irus yang menyaksikan sikap kurang ajar Den Mas Sarwo pun teramat luka batinnya. Dibalik pagar semak pemuda itu tetap mengintai ke dalam rumah Anisa. Dilihatnya pula kekasih hatinya itu diseret oleh ibunya untuk menemui calon suaminya. Matanya tampak banjir, masih terlihat sisa-sisa cilak dan bedak yang pada awalnya membuat wajah gadis itu begitu cantik dan ayu.

“Anisa semestinya menjadi pengantin yang berbahagia untukku!” begitu batin Irus yang oleh karena patah hati dan kemarahan yang tak bisa dibendung ikut pula sesenggukan dan berurai air mata. Kemudian dari balik kaos hitamnya, Irus mengeluarkan sebilah keris yang ia ambil diam-diam dari kamar ayahnya dan selembar daun sirih serta dari saku celananya. Tidak lupa ia juga mengambil secarik kertas yang bertuliskan mantra yang disalin dari lontar milik ayahnya. Dalam persembunyiannya Irus komat-kamit dan berkonsentrasi terhadap Den Mas Sarwo yang telah membikinnya kesumat. Setelah pemuda itu menyembur keris ayahnya sebanyak tiga kali, ia menusuk lembaran daun sirih tersebut maju dan kemudian mundur. Mirip seperti adegan bersenggama. Sesaat ia ragu, apakah mantra dan ritual yang ia lakukan sudah benar. Irus tetap memompa keris tersebut hingga daun sirih tersebut terkoyak dicelah jarinya. Sementara tidak ada hal apapun yang terjadi pada Den Mas Sarwo yang kini menyeret Anisa menuju tandunya.

Namun siapa yang berani sangsi terhadap kesaktian sang dukun? Konon ia menguasai penguasa jin diseluruh penjuru mata angin. Mampu memanggil dan menghentikan hujan badai dalam sekali jentik jarinya. Keajaiban macam apapun bisa sang dukun ciptakan di atas telapak tangannya. Maka mantra yang Irus curi dari ayahnya mulai bereaksi. Den Mas Sarwo tampak menegang. Irus makin gelisah jika ia salah sebut mantra karena senjata dibalik sarung Den Mas Sarwo tampak menyembul tegak dan perkasa. Para perempuan yang membawa seserahan tampak menahan nafas menyaksikannya. Senjata itu makin tegak, semakin memanjang. Irus mengutuk dirinya karena mantra tersebut justru membuat Den Mas Sarwo menjadi begitu gagahnya. Tapi efek mantra itu ternyata belum berhenti dan semakin membuat mata orang-orang melotot. Senjata Den Mas Sarwo bertambah besar dan memanjang tak ada hentinya hingga menyeruak dari balik sarungnya. Roman muka Den Mas Sarwo berubah pucat menjadi ketakutan ketika senjatanya itu kini menjadi sangat panjang seperti gagang cangkul. Kemudian senjatanya tersebut berubah warna menjadi hijau pekat lalu tumbuh duri-duri hitam kecil memenuhi senjata Den Mas Sarwo. Mirip kaktus, namun dengan duri-duri yang berbisa. Laki-laki itu tampak kesakitan, kemudian ditandu pulang oleh budak-budaknya.

Masih menyisakan keterkejutan, Irus justru melompat gembira. Teluhnya telah berhasil membuat Den Mas Sarwo mengurungkan niatnya. Belakangan Irus teringat bahwa mantra yang ia ucapkan adalah mantra pembesar senjata bagi laki-laki yang sering kesulitan untuk menghunuskannya. Prosesi yang salah telah membuat senjata Den Mas Sarwo menjadi begitu mengerikan.

Sebelum Den Mas Sarwo beranjak dari rumah Anisa, laki-laki itu menuduh dengan keji ibunya sebagai pembawa kesialan ini. Ia begitu yakin kejadian aneh hari ini merupakan kutukan sang gerilyawan yang mayatnya dikubur serampangan. Seketika orang-orang kampung berhamburan memasuki rumah serta mengunci pintu dan jendela mereka rapat-rapat.

Dengan senyum yang sumringah Irus beranjak dari tempat persembunyiannya, kembali ke kediamannya dan mengembalikan keris pusaka yang telah menuntaskan dendamnya tersebut. Ia telah menjadi pahlawan bagi kekasih hatinya, Anisa atau mungkin bagi gadis-gadis yang dipaksa kawin dengan Den Mas Sarwo. Dengan senjatanya yang kini berduri itu, perempuan mana lagi yang akan mau dikawininya.

Beberapa hari kemudian dengan rasa percaya diri yang secara ajaib diperolehnya, Irus bertamu kerumah Anisa. Datang menunaikan niat suci dan tulus untuk melamar kekasih hatinya. Malam sebelumnya ia telah melakukan tirakat mandi dengan minyak cendana, berharap Anisa akan tersihir dan jatuh cinta kepadanya tanpa harus bertatap mata. Tidak lupa Irus membawa cincin dan kalung akik sebagai mas kawin. Segera setelah Irus mengucapkan salam, ibunya muncul dengan wajah sepucat mayat. Ditangannya ada sepucuk surat. Irus yang tidak sabar merampas surat itu dari tangan si perempuan. Apa yang terjadi sungguh lebih parah dari teluhnya sendiri kepada Den Mas Sarwo. Patah hati yang ia rasakan menjalar begitu cepatnya sampai ke saraf-saraf otaknya. Kemudian Irus lemas dan kejang-kejang.

Disurat itu dengan jelas tertulis bahwa Anisa telah kawin lari dengan Kang Darta menuju tempat yang begitu jauh, melewati samudra yang begitu luasnya. Tempat yang hanya bisa ditemukan jika mereka telah membaca buku, yang selalu pemuda itu lontarkan dalam pidato-pidato revolusionernya. Sekarang yang bisa dilakukan Irus hanya menahan rasa sekarat karena telah kehilangan cintanya. Kini, angin tidak akan mampu membawa sihir cintanya dan laut akan senantiasa menenggelamkan mantra gelapnya.

 

-Selesai-

*Dimuat BaliPost Minggu 31 April 2017

MENGENALKAN OTORITAS TUBUH SEJAK DINI


Oleh: Citra Sasmita

“Apabila ada yang mengatakan kepada janin di rahim: “Di luar sana ada sebuah dunia yang teratur,

Sebuah bumi yang menyenangkan, penuh kesenangan dan makanan, luas dan lebar;

Gunung, lautan dan daratan, kebun buah-buahan mewangi, sawah dan ladang terbentang;

Langitnya sangat tinggi dan berbinar, sinar mentari dan cahaya bulan serta tak terkira banyaknya bintang;

Keajaibannya  tak terlukiskan: mengapa kau tetap tinggal, mereguk darah, didalam penjara yang kotor lagi penuh penderitaan ini?”

Janin itu, sebagaimana layaknya, tentu akan berpaling tak percaya sama sekali; karena yang buta tak memiliki imajinasi.

Sebagai pengantar tulisan ini, saya mengutip puisi Rumi yang menggambarkan kehidupan janin dalam rahim ibu yang nyaman dan tidak kurang nutrisi dimana terjadi penyatuan yang transcendental antara ibu dan anak melalui bahasa yang hanya bisa dipahami oleh mereka—berupa sentuhan, getaran vokal, bahasa yang menjadikan ruang kandungannya egaliter dimana tubuh perempuan telah menjadi ibu (memberikan impuls kasih sayang, dan nutrisi) sekaligus menjadi ayah imajiner (memberikan perlindungan). Bahasa prasimbolik, demikian menurut Julia Kristeva, seorang filsuf berdarah Bulgaria ketika menjabarkan pengalaman maternal seorang perempuan yang mengandung merupakan fase awal seorang anak manusia tidak mengenal diskriminasi pada tubuh ibunya. Berbeda halnya dengan ruang diluar kandungan sang anak, seksualitas masih dipahami sebagai tabu dan ditutup-tutupi. Seksualitas pada tubuh perempuan menurut Kristeva telah melalui berbagai macam pengalaman bahasa, dari yang reflektif terhadap pengalaman naluriah seorang anak menuju ke fase simbolik atau reflektif terhadap sistem pengetahuan dan budaya.

“…. mengapa kau tetap tinggal, mereguk darah, didalam penjara yang kotor lagi penuh penderitaan ini?” Kalimat dalam puisi Rumi tersebut merupakan alegori mengenai tubuh perempuan dalam konstruksi sosial. Fungsi maternal tubuh perempuan yang diglorifikasikan dalam mitos-mitos penciptaan dan kesuburan berbanding terbalik dengan realita yang terjadi di masyarakat. Tubuh perempuan kerap dianggap kotor, sumber bencana dan terstigma sedemikian rupa sehingga tubuh perempuan dikekang dalam nilai-nilai sosial. Meski sang anak dalam rahim hanya memahami bahwa tubuh ibunya adalah tempat terbaik untuk tumbuh dan berkembang, segera setelah ia disisipi nilai-nilai sosial tersebut, ia akan memperoleh perspektif baru mengenai identitasnya—ruang sosial bisa menjadi penjara yang jauh lebih buruk yang bisa dibayangkan.

Kemudian ketika sang anak lahir, ia akan mengalami berbagai macam pengalaman kehidupan yang lebih kompleks, mulai dari mengetahui berbagai macam rasa pada indra-indra tubuhnya hingga pada pengetahuan yang lebih abstrak seperti moralitas. Kondisi tersebut diawali oleh proses penyapihan sang anak dengan tubuh sang ibu. Oleh Freud, proses penyapihan tersebut diiringi dengan pengalaman traumatik yang menjadi potensi diskriminasi pada tubuh ibunya. Kemampuan otak manusia untuk mengingat trauma jauh lebih kuat daripada usahanya untuk mencari kesenangan (pleasure) sebab ingatan traumatik, sadar maupun tidak akan memproteksi dirinya dari berbagai ancaman, termasuk ancaman yang menyapihkan sang anak dari rasa kenyamanan. Dalam perkembangannya tersebut anak mulai disisipi tanda-tanda akan identitas seksnya (anak diperkenalkan dengan role model keperempuanan atau kelaki-lakian). Tentu ada nilai yang bersifat tumpang tindih dalam pengenalan identitasnya tersebut dimana laki-laki dan perempuan selalu dipahami sebagai mahluk oposisi.

Bahasa simbolik atau logos sebagai medium komunikasi dalam ruang sosial lebih bersifat paternal dibandingkan spiritualitas janin terhadap rahim ibunya, sehingga otoritas tubuh perempuan menjadi permasalahan yang sulit dicari ujung pangkalnya. Meski tubuh perempuan juga menjadi ritus pemujaan karena erotika dan sumber kenikmatan, namun disatu sisi juga diasosiasikan dengan sumber bahaya, tabu, aib, dll.

Tubuh perempuan dalam paradigma masyarakat harus sesuai dengan norma dan parameter sosial yang telah berlaku. Khususnya dalam kultur patriarkis dimana peran laki-laki dan perempuan telah ditentukan dengan mengatasnamakan tradisi dan budaya. Masyarakat dalam kultur patriarkis telah mengukuhkan sistem tersebut sehingga perempuan diasosiasikan dengan persoalan domestik (masak, macak, manak) dan laki-laki secara natural menguasai wilayah publik. Persoalan domestik yang dimaksud bukan semata-mata beban kerja dan ruang terbatas perempuan hanya dalam rumah tangga, namun terlebih pada akses pengetahuan dan pengembangan mentalitas perempuan sebagai mahluk yang otonom. Kerangka domestifikasi yang telah dikonstruksi pada perempuan secara tidak langsung membentuk identitasnya—dimana konsep identitas disini melingkupi bahasa, habitus, seksualitas, dan relasi kuasa.

Secara anatomi sex konsep tubuh perempuan telah direduksi hanya sebagai fungsi reproduksi, sebagai objek hasrat laki-laki dan bukan sebagai subjek aktif yang memiliki kebebasan ekspresi dalam pencarian identitasnya, maka ketika dimulainya metamorfosa tubuh dari usia belia (tumbuhnya payudara dan mengalami menstruasi) pengalaman biologis tersebut disisipi bahasa/stigma tubuh perempuan yang diidentikkan dengan tubuh yang kotor. Seorang perempuan harus tahu bagaimana cara berpakaian dan menutup rapat tubuhnya ataupun berperilaku supaya terhindar dari objektifikasi lingkungan (pelecehan, kejahatan psikologis atau bentuk penindasan lain).

Kemudian dalam mitos kesuburan, misalnya dalam masyarakat Bali yang konservatif, seorang perempuan dianggap sempurna jika ia mampu mengandung seorang anak dan melahirkan anak laki-laki sebagai penerus keluarga. Sebagaimana yang diungkapkan Gadis Arivia dalam Kajian Budaya Feminis, kemampuan hamil tidak semata-mata persoalan biologis yang dapat dijelaskan secara ilmiah, melainkan memiliki makna kultural dan sosial. Perempuan berkompetisi untuk memenuhi kriteria-kriteria tersebut untuk mendapatkan daya tawar dan bertahan hidup dalam lingkungan sosial. Maka tidak jarang didapati peristiwa bahwa perempuan sendiri bisa menjadi maskulin dan mensubordinasi perempuan lain, berdasarkan perbedaan usia, kasta, kelas sosial dan tingkat pendidikan.

Patriarki sebagai predator utama perempuan dalam kebudayaan, mengekang dengan pelan dan halus menjadikan perempuan sendiri menjadi pemangsa bagi perempuan lain. Perempuan berkompetisi dalam sistem tersebut untuk memperoleh hasrat aktualisasi diri atau identitas lian yang bahkan bersifat semu. Sosialisasi partriarki telah dilakukan melalui keluarga kepada anak adalah untuk melegitimasi ideologi patriarki itu sendiri dalam menanamkan peran, status, fungsi reproduksi, batasan-batasan relasi dan sosialisasi. Hal tersebut telah menjadi ekses-ekses dari ketidakpahaman perempuan mengenai seksualitas akan tubuhnya sendiri tentang bagian mana yang merupakan hal kodrati dan hal mana yang telah dipolitisasi.

Pentingnya mengembalikan otoritas tubuh perempuan, sama halnya dengan merombak kembali sikap mental masyarakat. Memperbaiki sedikit demi sedikit kesenjangan sosial yang ada demi mencapai kesetaraan. Hal tersebut bisa dimulai dengan memberikan pendidikan seks sejak usia dini dan keluarga sebagai intitusi kecil merupakan pemegang peranan vital untuk mensosialisasikan hal ini.

*Citra Sasmita, perupa, illustrator cerpen di Balipost dan alumni workshop penulisan kritik senirupa DKJ 2015

Repost: The Bali Art Scene 2016 – An Overview by Richard Horstman


Citra Sh"Torment"

“Torment”  2015 – Citra Sasmita one of the strongest works from the ‘Bali Art Intervention #1’ “Violent Bali”

This overview looks back over the past six months (and more) at exhibitions and happenings of note in the Bali art scene which in the past year has witnessed some critical infrastructure developments.

Closing out 2015 ‘Bali Art Intervention #1’ “Violent Bali” open 10 November at the Tony Raka Art Gallery in Ubud, featured the work of 60 artists, and was the strongest collective showing of contemporary art in Bali since July 2013’s “Irony in Paradise” by Sanggar Dewata Indonesia at ARMA. Slated to run for a month the exhibition continued into the new year and works by Citra Samsita, Wayan Wirawan, Agus Cahaya, IB Putra Adnyana, Pandi Acmadi, Tatang BSP, amongst many others were worthy of mention.

Made Budhiana. "In the Darkness of Night" Image M. O'Riordan“In the Darkness of Night” 2015 – Made Budhiana from the “Cruise Control” Exhibition

“Cruise Control Indonesia – Top End Artist’s Camp Exhibition” 23 January – 13 February 2016 at the Northern Centre of Contemporary Art (NCCA) in Darwin, Australia showcased the some of the fruits of the 2015 Artist’s Camp, an engagement by 6 Indonesian artists in the Northern Territory (NT). For five weeks Made Budhiana, Wayan Wirawan, Made Sudibia, Made ‘Dalbo’ Surimbawa and Ni Nyoman Sani from Bali, and East Javanese artist Suryani were guests of the government of Northern Territory and were exposed to foreign lands and societies, and delved creatively into new visual and conceptual territories.

The biannual Artists Camp, which was first held in 2012 in the NT, and then with two subsequent Camps in Bali (2012 & 2014) is the initiative of Australian art lover Colin MacDonald and Made Budhiana, working with the NCCA, expanding upon the original modal of the Artists Camp that first began back in 1978. The exhibition displayed some outstanding works of cross-cultural engagement and its success in underlined by the support the Chief Minister of the NT government and the Commonwealth Bank of Australia. Despite international political relations between Indonesia and Australia recently weathering stormy seas, art and cultural remain the most important and enduring engagements between the two countries.

TiTian Art Space. Image by Richard Horstman                 TiTian Art Space – Image Featuring works by Teja Astawa & I.B. Purwa

Merging perceptions and practices from the past with the present, along with an innovative vision for the future, Yayasan TiTian Bali (YTB), a new art foundation launched 29 January 2016 at Bentara Budaya Bali cultural center, is setting out to revolutionize Balinese art. Inaugurated on the 80th anniversary of the founding of the PitaMaha artists collective in Ubud, the Balinese artist co-operative TiTian Art Space, located on Jalan Bisma Ubud, will help transform artists into art entrepreneurs within the creative economies.

The brain child of the former volunteer curator and international liaison officer for Puri Lukisan Museum, Soemantri Widagdo, exhibitions hosted this year have showcased some of the finest Balinese traditional and contemporary artists such as Teja Astawa, IB Purwa, Made Griyawan, Aris Sumanta and Gede Widyanatara, to name a few. The June “Traces Under the Surface – Batuan Painting Exhibition” set 3 generations of Batuan painters from one family side-by-side in a unique expose into the development of Batuan painting. The regular series of exhibitions and workshops along with the revolutionary vision of YTB are an exciting and important addition to the Bali art infrastructure.

With plans to build a Museum of Contemporary Art (Bali MOCA), an international class museum located in Ubud, within the next ten years, exhibiting both old and new work of the highest quality, YTB expects to inspire new directions and achievements in Balinese art, while being the premier hub for Balinese visual arts by 2021.  Balinese traditional art is undergoing an exciting revival underpinned by fresh young talent and strategic collective activity, for example in Batuan led by the formation of the Baturlangan Artist Collective of Batuan.

With the mission to place Balinese art on global platforms the welcome addition of  YTB to the Bali art scene will aid in future consolidation of the current flourishing of Balinese traditional painting. The 21st century ushers in a new paradigm of global thinking and the art world is responding and evolving especially due to the impact of the internet and social media which is empowering individuals to develop global brands and presence. Yayasan TiTian Bali is building a new eco system for Balinese art for the 21st Century.

A.A Gede Anom Sukawati-"Tari Joged Bumbung". Image courtesy of Larasati“Joged Bumbung” 2008 – A.A Gede Anom Sukawati featured in the 1oth Anniversary Larasati Balinese Modern Traditional & Contemporary Art Auction at ARMA Ubud.

Results of the special 10th anniversary Larasati Balinese Modern Traditional & Contemporary Art auction at ARMA 28 February confirm that the market for Balinese traditional art is growing steadily while providing excellent value through the low to medium and high price ranges. Emphasizing quality over quantity the 81 items birthday sale featured a parade of beautiful works including sketches, watercolors, wood carvings and paintings by “Old & Young” Balinese masters.

During the past decade, with two auctions per year in Ubud Larasati have opened up an international forum for the trade of high quality traditional Balinese works, especially paintings. By introducing professionalism of an international standard that Bali had yet to experience in its art dealings Larasati has helped create a real, healthy market for traditional Balinese art. The auction included works by popular artists I.B Made Poleng, Gusti Lempad, Made Sukada, A.A Gede Anom Sukawati, and I.B Nyana to name a few.

A feature of the sale was Larasati Auctioneers providing for the first ever real-time data over the internet allowing easy, direct access to buying opportunities for a global audience. The auction audience revealed more foreigners in attendance than Indonesians being a testament to the developing international market of the Balinese art which is considered by experts to be undervalued. Larasati CEO Daniel Komala confirmed that the outcome of first ten years of auctions have exceeded all expectations.

I GAK MURNIASIH - SEDANG ACTION - AOC - 100 x 100cm - 2003                                                  “Sedang Action” –  I GAK Murniasih

“Merayakan Murni / Celebrating Murni”, a project gathering local and regional artists to create works in response to the legacy of the iconic female Balinese artist I GAK Murniasih (1966-2006) “Murni” started 8 December 2015 at the innovative new art space Ketemu Project Space in Sukawati. Punctuating the beginning of the 6 month plus program of events, culminating with the group exhibition at Sudakara Art Space Sanur 16 July 2016, the 8 December event was an intimate evening of discussions.  Featuring friends and colleagues of Murni’s, while introducing some of the breadth of her work, and the schedule of up coming events was reveled that included artist in residency programs and curator discussions. This highly anticipated exhibition will be the most important of the 2016 art calendar.

AJI02649_1-1_LR“Forgotten Optical Satsuma Filters” – Ashley Bickerton at Rumah Topeng dan Wayang Setiadharma

Kayu, a series of exhibitions that began in 2014 presented by Italian art worker Lucie Fontaine at Rumah Topeng dan Wayang Setiadharma in Mas, has been a highly valuable contribution to the appreciation of contemporary art in Bali. Organized and curated by Italian artist and Ubud resident Marco Cassani, Kayu showcased both local and international artist in cross cultural collaborations, group and solo exhibitions. Kayu aims to support the growth and awareness of contemporary art in Indonesia through experimental and conceptual projects and operations as an incubation facility to give the opportunity for information and knowledge exchange between Bali and Indonesia with the outside art world. Projects have included artists Corrado Levi, Radu Cosma, Entang Wiharso and Luigi Ontani.

The exhibition space at Rumah Topeng, a traditional Javanese teak warehouse is a unique setting for the presentation of contemporary art allowing the ambience of cultural design elements and raw timber to enhance the presence of the art works. Despite not being well attended by the local art community, importantly Kayu allowed an opportunity for people to enjoy art in an alternative exhibition setting, in contrast to the often “sterile” gallery spaces, while positively contributing to the viewer experience. The program culminated in April with Ashley Bickerton’s first ever solo exhibition in Indonesia “Forgotten Optical Satsuma Filters” that featured his experimental “non commercial” color creations.

DSCF4872             “King Udayana : A Visual Epic” 2016 – Ketut Budiana at Bentara Budaya Bali

The historical collaboration between the Udayana University of Bali and the Bentara Budaya Cultural Center, Denpasar on Friday 15 April highlighted a landmark event in Balinese painting, presenting the works of Balinese master artist Ketut Budiana. Officiated by the Governor of Bali, Made Mangku Pastika, the exhibition “King Udayana : A Visual Epic” featured an enormous narrative canvas, 8339 x 140 cm spanning the walls of the pavilion paying homage to the lifetime journey of the 10th century Balinese King Udayana.

Budiana invited the audience to wonder clockwise around the pavilion to engage with this poetic work laid out in such as way as to occupy the four directions of the compass, with their respective gods, and colors, symbolically linking the human existence with the cosmos. Often described as a “fantastic’ painter” Budiana communicates stories that appear to come from the subconscious in dream like imagery that often evolves from swirling clouds of energy. Post exhibition the work was installed within the Rectorate’s hall of the Udayana University in Jimbaran.

13173813_10153830185898778_8308656514481768488_n     “Kartini” – Cherographed by Jasmine Okubo, May 2016, image by Dewandra Djelantik

Long time collaborator with Indonesian artists, Japanese choreographer, dancer and performer Jasmine Okubo continues to push the art performance genre into new and exciting realms. Her performance during the opening of Rie m’s April exhibition “Conexion & Contradiccion” at the Villa Pandan Harum, Ubud was captivating, as were other during the year. While Rie’s exhibition of cross cultural infusions was outstanding, and importantly introducing the art of collage in a fresh and highly sensitive manner to the local art community, Jasmine’s performance, melding the futuristic aesthetics with Balinese and Japanese flavours typifies her extraordinary talent.

Okubo’s 5 June performance at Rumah Sanur in a silent enclosed space brought into dynamic, otherworldly life with excellent visual aesthetics via video mapping during the Art Ritual, themed about the transition from WATER to AGNI for the 2017 Sprites Bali Art & Creative Biennale broke new ground for the performer and the audience alike.

DSCF5736                               “Questioning Balinese Painting” 2016 – Kemal Ezedine

 

Neo Pitamaha art collective headed by Gede Mahendra Yasa and Kemal Ezedine brings a fresh, strategic, intellectual approach to the art explorations in the historical development of Balinese traditional painting. Beginning in 2013, inspired to investigate a new paradigm of Balinese painting, since 2014 they have been exhibiting in high-profile events in Bandung, Semarang and ArtJog in Yogyakarta. During 2016 they have been increasingly focussing their attention outside of Bali especially engaging with curators, collectors, along with larger audiences. Mahendra Yasa and Ezedine both held solo exhibitions at Langgeng Art Foundation, during the Jogja Art Weeks June/July art extravaganza for the local and international audiences gathered in Yogyakarta for the opening of ArtJog9.

The Neo Pitamaha’s critical and strategic approach is building positive momentum, importantly raising the bar of what Bali based collectives may achieve, while setting a potent example for others to learn from. Ezedine’s enormous 2016 mural project, highlighting his graphic illustration and dynamic colour design skills, upon ceiling panels of the café dining area the new Artotel in Sanur is a visual feast for the eyes while helping to define the uniqueness of Bali’s first art themed hotel.

DSCF4884Detail from Mangu Putra’s 2016 painting of the 1906 Pupatan in Denpasar at Gwangju Art Museum, South Korea

Social issues and important Balinese historical events are themes close to Mangu Putra’s heart. In the May 2016 “In Commenmoration of the 36th Anniversary of the May 18th Democratization Movement 2016 Asian Democracy, Human Rights, Peace Exhibition – The Truth To Turn it Over” at the Gwangju Art Museum, South Korea he exhibted his painting of the 1906 Pupatan in Denpasar  Bali. Following from his research early in 2016 he reconstructed a scene post puputan killings that depicts leaders of the Dutch military battlion posing with the body of the Raja of Denpasar.

IMG-20160609-WA003       The WOI (Wall of Indonesia) Exhibition at Bloo Art Space, Padang Bai, East Bali

The prevalence of artist run initiatives such as Cata Odata in Ubud, Ketemu Project Space, Luden House in Ubud, and the recently renamed Bloo Art Space located at the Bloo Lagoon Eco Resort and Villas in Padang Bai (also managed by Cata Odata) have become major forces within the development of art in Bali. While these community focussed organizations embrace and grow through the dynamic connectivity of social media and the internet what is essential is that there are venues that outside of the gallery commercial modal that continue to grow and survive as essential pillars of the art infrastructure in Bali.

Source: https://lifeasartasia.wordpress.com/2016/07/26/the-bali-art-scene-2016-an-overview/

8 Maret, Gerakan Perempuan Menuju Kesetaraan


“Perempuan adalah kekuatan utama dalam sebuah perubahan” begitulah yang diungkapkan oleh Sri Mulyani Indrawati, Chief Operating Officer and Managing Director, Bank Dunia. Karena baginya, negara yang menjamin dan menginvestasikan pendidikan bagi anak-anak perempuan dan menghilangkan hambatan hukum bagi perempuan untuk memaksimalkan potensinya sekarang telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Dalam bidang ekonomi di Amerika Latin misalnya antara tahun 2000-2010 membawa perubahan dalam reduksi kemiskinan sebagai dampak dari pemberdayaan lebih dari 70 juta perempuan yang bergabung dalam industri kerja dan tentunya telah mendapatkan pendidikan yang layak sehingga berimbas positif pula pada kedewasaan perempuan untuk menikah pada usia matang dan memiliki sedikit anak.  Hal ini pun dapat menjadi indikasi bahwa negara yang mampu mengentaskan kemiskinan adalah negara yang mengkondisikan perempuan dan laki-laki dalam kesetaraan.

Tentunya inilah yang menjadi visi besar dari gerakan perempuan di seluruh dunia yang selalu diperingati dalam Woman’s International Day setiap 8 Maret. WID merupakan suatu momentum bagi perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya dalam bidang ekonomi, politik dan sosial. Disamping untuk memperingati peristiwa terbakarnya pabrik Triangle Shirtwaist di New York pada tahun 1911 yang mengakibatkan 140 orang perempuan kehilangan nyawanya, ada pun peristiwa lainnya yang terjadi pada 8 Maret 1857 di New York adalah ketika kaum perempuan dari pabrik pakaian tekstil mengadakan aksi protes memperjuangkan kondisi kerja yang sangat buruk dan gaji rendah.

Hal tersebut dikarenakan oleh stereotipe pembagian peran laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh masyarakat dunia serta imbas industrialisasi yang memapankan peran perempuan dalam pekerjaan domestik/ non produktif serta kerja tanpa bayaran. Sementara laki-laki bisa menjadi pemilik usaha, manajer atau buruh (tenaga kerja produktif). Perlakuan diskriminasi tersebut yang menggerakkan para perempuan untuk merombak kembali konstruksi masyarakat akan peran perempuan yang terbatas dalam ruang rumah tangga dimana juga mempersulit mempersulit perkembangan intelektualitas dan kemandirian mereka. Hanya karena stereotip tersebut kinerja perempuan untuk mendukung pertumbuhan industri dianggap lebih buruk dari laki-laki sehingga dari segi upah ternyata juga lebih rendah dari buruh laki-laki.

Para pengunjuk rasa yang turun ke jalanan yang terdiri dari buruh perempuan tersebut kemudian diserang dan dibubarkan oleh polisi. Menyadari perjuangan mereka belum selesai, kaum perempuan ini kemudian membentuk serikat buruh pada bulan yang sama dua tahun setelah peristiwa tersebut. Di tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja inilah gagasan perayaan Women’s International Day ini tercetuskan.

Selanjutnya, situasi perang duniapun turut memberikan peran baru untuk perempuan sehingga “tidak lagi domestik”. Perempuan mulai dibutuhkan bekerja diluar rumah khususnya dalam hal produksi perlengkapan perang seperti seragam untuk tentara, senjata dan ikut serta berperan sebagai tenaga medis di medan perang. Meski telah ikut ambil andil dalam peran laki-laki, namun peran domestik mereka tidak berkurang sehingga memunculkan peran dan beban ganda bagi perempuan. Maka para perempuan, khususnya kalangan buruh perempuan makin gencar menyuarakan tuntutan lingkungan kerja yang lebih baik dan jam kerja yang lebih kondusif.

Tidak hanya di negara-negara yang telah sukses memperjuangkan hak-hak perempuan, titik kesetaraan ini pun diharapkan menjangkau seluruh perempuan di negara berkembang khususnya di Indonesia. Tanggal 8 Maret ini menjadi penting karena menjadi cikal bakal kesadaran perempuan mengubah nasib mereka. Sesungguhnya WID telah berperan pula bagi organisasi perempuan di Indonesia dan diperingati setiap tahunnya diantaranya yaitu PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang sempat menjadi WIDF (Women International Democratic Federation) dan GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia). Gerakan-gerakan perempuan pada masa pemerintahan presiden Soekarno tersebut tumbuh begitu subur dan berperan signifikan dalam pembangunan negara. Pada momentum ini kita juga diingatkan kembali akan kongres perempuan di Yogyakarta pada tahun 1928 yang menekankan pada aspek-aspek penting yang harus dimiliki oleh seorang perempuan. Perempuan bisa menjadi apapun, dari mengikuti kodratnya sebagai seorang ibu, mendidik anak dan mengurus rumah tangga sebaik-baiknya namun hal terpenting yang tidak bisa dilepaskan dalam perkembangan identitas seorang perempuan adalah intelektualitas, vitalitas dan kinerja perempuan.

Namun pada masa Orde Baru, peringatan WID dilarang karena dianggap membawa paham komunis yang ditandai pula dengan kehancuran organisasi perempuan seperti GERWANI dengan sebuah propaganda seksual yang terkenal dengan tarian harum bunga dimana para anggota GERWANI konon melakukan tarian vulgar dan memotong kemaluan dan mencungkil mata para jenderal. Sehingga disamping menciptakan catatan kelam mengenai pembantaian para anggota GERWANI pada 1 Oktober 1965, juga merupakan sebuah upaya pemerintah untuk menggertak dan menghentikan progresifitas organisasi-organisasi perempuan yang lainnya di Indonesia.

Para perempuan telah kehilangan ideologi yang dulu dengan semangat berapi-api disampaikan oleh Presiden Soekarno dan menetapkan kongres tersebut sebagai hari suci bagi perempuan, sebagaimana WID yang semestinya dapat memberikan semangat perjuangan untuk perempuan. Bahkan begitu pentingnya gerakan perempuan bagi Soekarno, ia telah menyusun buku berjudul “Sarinah” yang mengupas pergerakan perempuan di dunia serta perlawanan kaum perempuan terhadap bahaya laten hukum patriarkis dan ekses-eksesnya. Seperti yang kita sadari, hingga saat ini kita justru terjebak dalam domestifikasi. Domestifikasi bukan berarti hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga melainkan dibatasinya akses-akses perempuan baik dari segi intelektualitas, politik, dan partisipasinya dalam menentukan keberlangsungan kehidupan sosial dengan adanya justifikasi dan pakem-pakem mengenai keperempuanan yang telah dikondisikan oleh masyarakat yang kurang mendukung kemajuan seorang perempuan.

Meski WID belum menjadi hari penting yang dicatat dalam kalender resmi Indonesia, namun pergerakan perempuan mengaktualisasikan dirinya tetap berlangsung hingga sekarang untuk tetap memperjuangkan hak-haknya, menghilangkan diskriminasi, keterbatasan akses-akses politik, peran dan beban ganda terhadap perempuan menuju situasi yang setara dalam kehidupan sosial dan ekonomi.

 

*Citra Sasmita, perupa, illustrator cerpen di Balipost dan alumni workshop penulisan kritik senirupa DKJ 2015

*Tulisan ini pernah dimuat di Balipost minggu, 6 Maret 2016

Rempah, Ibu Peradaban Indonesia


Ketika menyelami suatu arus yang terjadi dalam masyarakat dan turut serta dalam dinamika sosial, pada suatu tataran tertentu kita akan sampai pada titik kesadaran terhadap suatu transformasi di dalamnya. Namun transformasi yang bagaimanakah relevan terjadi saat ini? Sebagai studi kasus, rempah dan khasanah kuliner Nusantara adalah salah satu hal yang cukup menarik untuk dianalisis sebagai penanda fenomena yang terjadi dalam masyarakat.

Modernitas yang kini telah menjadi nafas setiap individu telah cukup signifikan menggiring mereka kedalam kehidupan praktis. Terlebih lagi sebagian besar masyarakat yang bersimbiosis dengan industrialisasi dimana produktivitas menuntut mereka untuk bekerja sesuai dengan sistem dan tenggat waktu tertentu. Hal tersebut tentu berimbas pada perubahan habitus masyarakat. Kebiasaan hidup praktis tentunya akan membuat seseorang memangkas kegiatan yang mengganggu waktu produktif mereka, misalkan saja dalam hal ini adalah kegiatan memasak.

Terhitung tahun 1968 ketika diperkenalkannya produk makanan instan mulai dari produk olahan mie yang hingga kini terus berinovasi dengan produk racikan bumbu instant.  Sebelum angka tahun tersebut, bisa dibayangkan kegiatan memasak dan menciptakan bumbu dalam rumah tangga masih menggunakan racikan bahan alami dengan spesifikasi jenis tanaman dan rempah yang cukup banyak dan beragam jumlahnya. Tentu untuk membuat racikan sebuah bumbu dibutuhkan penguasaan akan jenis bahan dan komposisi yang pas dimana rasa masakan yang berkarakter adalah penentu dari keberhasilan racikan tersebut.

Sebagian besar kuliner Nusantara yang kita ketahui pun pada dasar pengolahannya menggunakan bumbu yang cukup beragam dan variasi teknik yang memungkinkannya menyita banyak waktu sekedar untuk menghidangkan satu jenis masakan. Maka bumbu instan hadir sebagai solusi dari segala keruwetan racikan komposisi bumbu masakan. Bumbu instant hadir dengan menawarkan kepraktisan dan juga waktu penyajian hidangan yang relatif cepat.

Namun perlu diketahui bahwa kebiasaan menggunakan bumbu instan, bukan hanya berpengaruh bagi hormon dan kesehatan namun juga berdampak pada terkikisnya kultur meracik bumbu alami. Perlu menunggu berapa tahun lagi untuk melihat fenomena bahwa generasi selanjutnya akan mengalami kegagapan ketika meracik komposisi sebuah bumbu di dapur, atau bahkan untuk sekedar mengiris bawang?

“Spice is passion of food more than it, called phylosophy,” rempah adalah gairah dari suatu masakan, lebih dari itu kita bisa menyebutnya sebuah filsafat atau bahkan artefak biologis yang menandakan zaman keemasan Nusantara dimana penjelajah di dunia berusaha menemukan lokasi surga rempah yang berusaha ditutupi oleh  para pedagang Arab dan India sejak abad ke 8. Terutama banga Eropa, mereka begitu terobsesi menemukan asal usul rempah tersebut yang diasosiasikan dengan negara antah berantah yang berhubungan dengan surga.

Sebagaimana penulis abad pertengahan yang menggambarkan surga sebagai taman bagi para santo dengan aroma kayumanis, pala, jahe dan cengkeh. Pamor rempah sebagai penanda status sosial dimana harganya bahkan lebih tinggi dari emas tetap berlanjut hingga Portugis pada abad ke 16 melakukan ekspedisi ke Nusantara dan mengakhiri dominasi Arab dalam perdagangan rempah. Dimulai sejak itu pula Nusantara mengalami masa kegelapan terlebih lagi ketika VOC melakukan monopoli perdagangan rempah pada tahun 1602-1800. Bayangkan saja dimulai oleh rempah Indonesia mengalami 350 tahun masa penjajahan hingga dapat diakhiri dengan sebuah revolusi.

Maka, berdasarkan kajian historis tersebut kita dapat menilai bagaimana rempah merupakan harta karun nasional yang wajib kita jaga keberadaannya melalui kesadaran untuk merubah kebiasaan menggunakan bumbu instan dan kembali berkreasi dan meracik rempah dari bahan-bahan alami dalam proses memasak. Setidaknya, hal itu bisa menjadi upaya mempertahankan kekayaan khasanah sekaligus tradisi kuliner Nusantara.

Rempah adalah sebuah pusaka yang mampu menciptakan masterpiece kuliner Nusantara, terbukti dengan melimpahnya khazanah masakan nusantara. Rempah dan kuliner juga menjadi karakter tersendiri bagi suatu daerah, sebagaimana rendang dari Padang yang kini dikenal luas hingga ke mancanegara. Semestinya kita memiliki kesadaran untuk menjaga tradisi kuliner dengan terus memanfaatkan rempah alami Nusantara, karena hal itu sekaligus menjaga identitas kultural yang makin terkikis oleh budaya instan.

 

*Citra Sasmita, perupa, illustrator cerpen di Balipost dan alumni workshop penulisan kritik senirupa DKJ 2015

*Tulisan ini pernah dimuat di Balipost minggu

Childhood Memory at Personal Codes Presentation


Childhood Memory, 100x120cm, acrylic on canvas, 2016

Kali ini saya terjebak dalam sebuah pertanyaan, sejak kapan seseorang memahami seksualitas? Apakah dimulai ketika pertama kali seorang anak mempunyai rasa keingintahuan akan apapun yang ada dalam anggota tubuhnya? Atau ketika ia mulai disisipkan “bahasa” oleh orang tua sebagai institusi pertama dalam pembentukan identitasnya?–dimana “bahasa” tersebutlah yang merupakan cikal bakal terbentuknya oposisi biner seorang anak terhadap anak lain yang berbeda dengan jenis kelaminnya. Untuk mencapai pemahaman tersebut, saya ingin mengutip alegori rahim dalam uraian Rumi:

“Apabila ada yang mengatakan kepada janin di rahim: “Di luar sana ada sebuah dunia yang teratur,

Sebuah bumi yang menyenangkan, penuh kesenangan dan makanan, luas dan lebar;

Gunung, lautan dan daratan, kebun buah-buahan mewangi, sawah dan ladang terbentang;

Langitnya sangat tinggi dan berbinar, sinar mentari dan cahaya bulan serta tak terkira banyaknya bintang;

Keajaibannya  tak terlukiskan: mengapa kau tetap tinggal, mereguk darah, didalam penjara yang kotor lagi penuh penderitaan ini?”

Janin itu, sebagaimana layaknya, tentu akan berpaling tak percaya sama sekali; karena yang buta tak memiliki imajinasi.

Maka, di dunia ini, ketika seorang suci menceritakan ada sebuah dunia tanpa bau dan warna,

Tak seorang pun di antara orang-orang kasar yang mau mendengarkannya: hawa nafsu adalah sebuah rintangan yang kuat dan perkasa.

Begitupun hasrat janin akan darah yang memberinya makanan di tempat yang hina

Merintanginya menyaksikan dunia luar, selama ia tak mengetahui makanan selain darat semata.”

Dalam alegori rahim tersebut dapat terlihat sebuah perspektif oposisi, antara sebuah janin yang tumbuh dan berkembang menggunakan intektualitas (akal jiwa) dibandingkan dengan sesuatu diluar dirinya yang mencoba menyisipkan bahasa simbolik ( gambaran mengenai gunung, lautan, buah-buahan mewangi) yang telah menggunakan rasio (akal psikis) dalam cara untuk memperoleh pengetahuan. Disamping itu juga terdapat kontradiksi antara realitas dalam masing-masing perspektif. Ketika janin hanya cukup untuk menghargai rahim (sesuatu yang dalam bahasa simbolik diungkapkan dengan “penjara kotor lagi penuh penderitaan”) dengan merespon simpul-simpul semiotik yang berupa rangsangan, getaran dan nutrisi yang diberikan oleh sang ibu, namun sesuatu diluar fase cora-nya (fase dalam kandungan) akan menjadi fase selanjutnya bagi seorang anak. Dimana dalam fase tersebutlah terjadinya perubahan persepsi dari yang semiotik menuju simbolik atau dengan kata lain adanya hierarki realitas yang pada prinsipnya menuntut seorang anak untuk memperoleh pengetahuan diluar pengalaman dirinya secara alamiah.

Penyisipan bahasa simbolik tersebutlah yang membentuk identitas diri sang anak (ego) maka dalam hal ini dapat menjadi permulaan adanya pandangan oposisi antara maskulin dan feminim. Bahwa maskulin dengan sifat logos diterjemahkan dengan superioritas dibandingkan dengan feminim yang dikonstruksi unsur-unsur inferioritas. Padahal ketika janin masih dalam kandungan, maskulinitas dan feminitas berada dalam posisi egaliter. Hal ini diindikasikan oleh fungsi ibu (memberikan rangsangan kasih sayang dan nutrisi) dan fungsi ayah imajiner (memberikan perlindungan) dapat dilakukan sekaligus dalam tumbuh kembang seorang anak.

Karena pemahaman akan perbedaan jenis kelamin tersebut tidak disampaikan dengan intelektualitas namun dengan menggunakan rasio inilah yang menimbulkan potensi diskriminasi terhadap perempuan. Dimana dalam konstruksi pengetahuan seorang anak hanya dilandaskan dalam hierarki realitas dalam bentuk doktrin yang bisa saja diterima sebagai suatu gagasan, namun realitas ini cenderung tidak dialami secara langsung atau tidak tereksplorasi.

Childhood Memory, dimaksudkan untuk kembali mempertanyakan pengalaman-pengalaman yang dialami seseorang dalam pembentukan identitasnya. Kemudian ketika menganalisis pemikiran Freud dalam Beyond the Pleasure Principles, dalam perkembangan identitas, tubuh telah mempunyai insting untuk cenderung berada dalam situasi yang menyenangkan namun agaknya kontradiktif dengan pikiran yang bertendensi mengulang kembali pengalaman buruk, trauma, stigma sosial– repetisi senantiasa terjadi baik melalui story telling, mimpi dan halusinasi. Alih-alih menghadapi pengalaman traumatik dan stigma sosial yang menjadi afirmasi dalam pembentukan identitas diri, seseorang cenderung menikmati kepahitan dan kesakitan sebagai ekstase untuk mengaktualisasikan dirinya.

*Citra Sasmita, perupa, illustrator cerpen di Balipost dan alumni workshop penulisan kritik senirupa DKJ 2015

*Lukisan Citra Sasmita dengan tajuk Childhood Memory (100x120cm, acrylic on canvas, 2016) saat ini sedang dipresentasikan di Sudakara Art Space, Sanur-Bali periode Februari-April 2016