Muasal Keruntuhan


 

Ada yang menyusup mengirimkan pertanda

Pada subuh sebelum segalanya dapat ditangkap jelas oleh retina

Hanya sekedar siluet

Ketika itu beringin kering tumbuh dalam batok kepala

Serabutnya menyusup semakin dalam

Menyeruak ke bagian paling rumit

Dimana manusia memendam hasrat tergelapnya

 

Kemudian pada ambang kesadaran dan mimpi

Aku terbius dalam imaji;

Sendiri di tanah asing

Pada perjalanan di gurun dengan hamparan duri

Setiap jejakku akan memerah

Ditembus serbuk-serbuk besi

 

Darah dan rasa sakit membikin setiap jalan kelahiran dipenuhi ular

Yang senantiasa menyuntikkan bisanya pada mahluk pertama

Bisa itu adalah candu yang membuat adam dan hawa tidak lapar akan buah kuldi

Melainkan rasa lapar yang membuat mereka melahap satu sama lain

Dalam kenikmatan purba, yang tak mampu dikultuskan dalam dogma

Dogmalah yang membuatku buta

Untuk paham bahwa penciptaan adalah khayali, tidak pernah terjadi.

 

Kemudian lenguhan yang berasal dari kedalaman neraka

Mendenging di dasar telinga, menjadikanku tuli

Dan oleh takdir disebutkan bahwa ketulian adalah penyakit

Yang membuat doa para santo tak akan pernah menyentuh kebaikan

Kebaikan tidak akan menyentuh siapapun

Sebab kebaikan adalah khayali, tidak pernah terjadi

 

Denpasar, 2016

Filsafat Kuldi


 

Kita adalah sepasang pendosa yang dikutuk Tuhan turun ke dunia

Setelah rasa lapar merenggukmu dan ular meliuk-liuk didalam tubuhku

Surga telah dikuduskan menjauh dari iman kita

Tidak ada lagi kolam susu atau aroma hangat rempah

Apalagi padang rumput keemasan

Nyanyian para malaikat berwujud malam

Dan rintik hujan yang menyegarkan

Pun menjadi ingatan yang diterpa angin

 

Kita mengarungi musim-musim asing

Yang menawarkan rasa dingin yang terlampau dingin

Atau terik yang menjadikan tubuh kita semakin fana

Semakin larut dengan usia dunia

Sementara jauh dalam ingatan atau barangkali telah menjadi khayali

Bahwa dulu sekali kita adalah mahluk-mahluk abadi

 

Kini kita berpijak pada keniscayaan

Pada hari-hari yang tunduk akan waktu

Pada sebuah adegan yang terampil dimainkan para penghuninya;

Antara memberi dan mencuri kehidupan

Tak ada banyak pilihan

 

Namun sekali lagi kita ingin merengguk dosa-dosa itu

Dengan penuh ketaatan

Tak ada lagi waktu panjang yang sia-sia

 

Kali ini dua biji kuldi kau lahap dalam suka cita

Dan ular itu kembali meliuk-liuk ke dalam tubuhku

Semakin dalam, semakin tenggelam

Seolah ia ingin tinggal lebih lama untuk sekedar berbenih

Menjadi pepohonan, menjadi kawanan mahluk yang menunggu untuk dinamai

 

Denpasar, 2016

Epilog Pembakaran Sita


Jika saja kau menyimpan abuku

Segera setelah pembakaran

Segera setelah doa-doa berhenti

Dan menaburkannya dalam liang

Yang akan menjadi penghabisanmu

Dengan rindu mengganas

Maka menjelmalah kita dengan sempurna

 

Ingatlah sejenak

Ketika api pertama menyulut tubuhku

Kenanglah sebagaimana ayat keseratus

Kau tulis dalam keningmu;

Bahwa pada mataku yang  memutih

Masih dapat kau lihat musim-musim

Dimana kita menari diatasnya

 

Juga dalam dingin yang diciptakan para dewa

Pada kulit

dan seluruh sel yang menjadikanku  ada,

Pertemuan kita melahirkan roh paling kudus

Yang menjadi darah, debu, dan hangat yang purba

 

Lihatlah aku sekali lagi

Saat darahku mengering dicumbu maut

Aroma dan merahnya akan mewakili

Segala yang ingin kusampaikan padamu

Perihal keabadian

Melampaui zaman dan usia yang mudah diterka

 

Denpasar, 2014

Menuju Pembakaran


 

: Ida I Dewa Agung Istri Putra

 

Inilah pernikahan abadi kita,

dimana aku sempurna menjelma perawan untukmu

 

Setelah hidup yang begitu singkat

Dan kematian adalah puncak kerinduan

dari waktu ke waktu

Tanpa terhitung angka tahun

 

Telah lama kunanti dunia menghapusku

Meski rapal mantra

dan jimat-jimat penebus

Membuatku selamanya menjadi tanda hari;

menjadi pemujaan yang bertubi-tubi

 

Mungkin setelah kulalui sebelas menara

yang Tuan hadiahkan

Membuat senja lebih menyala

Serupa birahi

Untuk kembali menyatu dengan rusukmu

 

Namun pada langit keberapa

Dapat kugapai dirimu?

 

Diantara kobaran api yang akan menjadikanku ilusi

Malaikat dan musafir bersorak,

Lalu seketika diam

Barangkali mereka,

barangkali ingin memerangkapku

Dalam ritus perjalanan

Hingga di pucuk menara,

langit memucat dan bintang pertama muncul

Pandanganku tersihir akan rimba

Dimana sekali lagi kau dimahkotakan

untuk menguasai ketiadaan

 

Puluhan ribu tubuh mengantarku melewati tiga dunia

Menopang kerajaan untuk tubuh suriku

Kepada api yang tak singkat mengepul

Dalam upacara penyatuan denganmu

 

Klungkung, 2014