Pada Ambang Garis Matamu


: Umbu Landu Paranggi

Di tanganmu sabda para nabi telah menyusut

Menjadi ayat pertama

Ayat yang hingga kini diburu musafir bahkan para malaikat

Sebagai syarat kesempurnaan doa-doa keselamatan

Dalam menciptakan kehidupan

 

Di kedalaman gurat-gurat yang menjadi pertanda nasib,

Telah kau siarkan; “kesunyian akan datang

melahap dengan beringas

Melumat dan mengepung tanpa ampun

Melebihi badai atau segala luka perjalanan  “

Namun, tidak satupun kegaiban dapat menyesatkanmu

Dengan pertanyaan-pertanyaan falsafah

Filsafatlah yang tersesat dalam labirin ingatanmu

 

Adakah yang kau dambakan selain menjadi kesunyian itu sendiri?

Sementara kau tidur, dunia menjadi dua macam warna

Langit kehilangan birunya

Laut kehilangan kedalamannya

Dan daratan dihuni oleh jasad-jasad tanpa gemuruh dalam darah mereka

 

 

Demikianlah

Pada detik seterusnya

Burung-burung bermigrasi menuju ambang garis matamu

Kicauannya bukan mengabarkan tentang batas-batas takdir

Melainkan mengultuskanmu menjadi takdir itu sendiri

 

Denpasar, 2014

PARANOIA


Terberkatilah ia mempelai kegelapan

Yang menjadikan nasib baik tidak dimiliki siapapun

Si pencipta skenario yang mengatur;

tanda hilangnya cahaya dari lingkar kepala

Doa-doa keselamatan

pun tidak akan menjadi juru selamat

ketika diambang ketiadaan

 

Mungkin ia terlahir

bersama ironi dan ketidakwarasan dalam ari-arinya

Meski tumbuh dalam upacara penolak bala

namun gagak-gagak hitam tetap bersarang di dahinya

menjadi musim suram yang abadi

Maka ia robek sendiri perutnya

merogoh rahimnya untuk dikembalikan ke rahim bumi

Karena nasib baik tidak dimilikinya

Nasib baik tidak diwariskan

kepada anak yang tumbuh dalam tubuhnya

 

Ia percaya pada yang tak pernah ada

untuk dimiliki sendiri

dan disimpan dalam usus dan lambung

dalam pencernaan yang menjadi labirin pengetahuan

yang  dilewati dengan cara yang membuatnya binasa

hanya untuk sekedar merasakan kesakitan

sekedar mengenal kemanusiaan

 

Citrasasmita, Denpasar, 2016