PENJARA TAK KASAT MATA


Photo Courtesy By: Dwi S. Wibowo

*Franchise versus PasarTradisional

Pasar, sebagai salah satu inti dari keberlangsungan hidup masyarakat, semenjak food producing (menghasilkan makanan sendiri) tidak lagi menjadi kegiatan pokok demi mengepulnya asap di dapur merupakan sampel yang cukup signfikan untuk membaca dinamika sosial. Meski fondasi awal kegiatan dalam pasar adalah proses distribusi ekonomi sebagai mana konstruksinya telah terbentuk sedemikian rupa, namun terdapat pergeseran nilai yang secara sadar ataupun tidak menjadi sebuah keniscayaan.

Meminjam konsep orientasi nilai oleh Florence R. Kluckhohn dan F.L Strodbeck yang mendefinisikan value sebagai sebuah konsepsi tentang sesuatu yang seharusnya diinginkan, eksplisit atau implisit, yang khas milik seorang individu atau suatu kelompok kemudian mempengaruhi pilihan terhadap bentuk-bentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan yang ada. Berangkat dari teori tersebut maka metode inquiry adalah salah satu cara untuk mendapatkan pemahaman terhadap pergeseran orientasi nilai tersebut dimana cukup berpotensi dalam perubahan sosial budaya secara ektrem.

Sampel dasar adalah pasar dengan sistem kerja franchise yang hingga kini masih menjadi hits bukan hanya pada daerah pusat modernitas, melainkan juga telah menginfeksi daerah pinggiran. Kemudian sebagai perbandingan adalah pasar tradisional dengan nafas budaya ekonomi yang telah dipertahankan semenjak generasi terdahulu dengan distribusi nilai barang/jasa yang tetap mempertahankan etika dan nilai yang telah ada. Lain halnya dengan pasar modern yang menciptakan arena kompetisi dimulai dari trademark, strategi, promosi layaknya bermain catur demi terciptanya sebuah prestise dan jenjang pencapaian value tertentu kemudian dapat kita amati telah berimbas dalam menciptakan pengkotak-kotakan kelas masyarakat.

Salah satu indikasinya yang paling sederhana dari lingkungan pasar ini adalah perbandingan “cara memperlakukan pelanggan” yang tentu juga telah terbentuk seiring sistem ini dijalankan. Dalam pasar terapan kapitalis ini, interaksi antar pelanggan dan penjual terbatas pada order and payment. Tentu dalam sistem ini, akses sebuah informasi sengaja ditutup karena persaingan pasar yang cukup ketat.

Namun gagasan macam apa yang akan didapat masyarakat dari sebuah kebutuhan produk selain hanya pemenuhan dari permukaannya saja. Jadi tidak bisa dipungkiri bahwa nilai dominan dalam hal ini sesungguhnya destruktif dalam pengembangan karakter dirinya maupun orang banyak. Berbeda halnya dengan pasar tradisional dimana sistem ruangnya pun terbuka untuk semua kalangan. Tentu masyarakat akan mendapat akses informasi apapun mengenai produk dengan mudah melalui budaya tawar menawar.

Secara infrastruktur, keberadaan pasar tradisional telah terancam eksistensinya karena pasar kapitalis sebagaimana moralitas dan kontruksi nilai dalam masyarakat pun mengalami degradasi. Sebuah realita yang harus dihadapi.

*memperingati woman’s international day, tulisan ini dimuat di Bali Post 8 Maret 2015